Tidak dapat dirasa berawal dari apa,
kudapati dia diam-diam datang dan beranggapan seolah teman lama, aku ingat dulu
aku masih SMA dan dia masih SMP, ia taruh semua perhatian padaku, dalam pikirku
“Aku menganggap kau sahabat”, sahabat yang bisa membangunkan mimpi dalam semua
tidurku, kau seret aku keluar dari ruang gelapku, bukan hanya sebuah ruang
melainkan sebuah dimensi dimana aku bisa menatap dan yang lain tidak. Kau
memberi lebih padaku, bukan sekedar jiawa yan kau berikan bahkan kau berikan
semua yang kau miliki untuk aku miliki. Aku ini manusia, jelas nuraniku tak
kemana, aku ingin membalas semua , “aku ingin sama sepertimu”. Tapi apa yang
aku punya, aku hanya punya sesosok jiwa yang penuh kerapuhan, bahkan embun pun
mampu meluluhkan. Sedangkan kau!, kau pemilik jiwa yang tanguh!, ya..!!, tangguh
melawan ombak dalam sela-sela karang perasaan.
Ini
balasanku, se-onggok kumpulan jiwa yang telah rapuh, dengan penuh kasih kau
ambil serpihan demi serpihan, lalu kau bungkus dengan lembaran kelopak bunga,
kau lempar jauh ke-tengah telaga, harapmu itu akan menjadi abadi.
Aku
menyangkanmu dan kau mengkasihiku, aku merasa sudah jiwa ini pulih dari
kerapuhan, saat kau megajarkan kasih dan sayang, dan kau arahkah aku dalam
sebuah tujuah hidup yang bersemi dan indah, yang selalu disinari
mentari-mentari keceriaan, untuk terus semanagat dalam menjalani kehidupan,
“aku merasa bahagia bersamamu”, Dalam fikirku.
#
Tak
tarasa aku telah begitu dalam melamun, eh bukan lamunan!, mungkin aku terlalu
memikirkan
"Apa mungkin aku tak merasakan detak
jantungmu",tanyaku kaget saat dia menutup mataku dari belakang, belum juga
tanganya yang lembut itu ia lepaskan, "Aku bawakan sesuatu untukmu"
suara itu terdengar begitu lembut, "apa...?" tanyaku, tangan lembu
itu perlahan terlepas.
Di
sebuah taman dengan penuh kedamayan. Kebeningan dan kelembutan udara mengiringi
kehadiranya, kupu-pupu bermain lepas di selebar taman, langit tampak indah
dengan lukisan awan, terbentang dan tertata dengan rapi, bunga-bunga berdiri
berjajar seakan menatap penuh iba. Seperti biasa persembahan senyum yang anggun
itu selalu mengawali kebersamaan, wajahnya menerjemah setiap sudut keningku,
bibir merah merona itu berucap, “Ambilah buku ini, tulislah setiap detik
jangkah hidupmu, agar terwujud impianmu”, dengan sedikit pertanyaan dalam hati
yang tak mau keluar, ku ambil buku itu dari dekapnya,
Mentari
perlahan merayap, aku malu memandang senyumya, indah, anggun, cantik dan elok
bermuara pada wajahnya, ia duduk bersandar bahu, aku peluk tubuhnya, terdengar
bisikikan kecil dari dalam hatinya, seakan menginginkan keabadian pelukan ini,
ku dekap lebih erat tubuhnya, dia terdiam seperti bayi yang tertidur dalam
gendongan ibunya, perlahan ku lepas dekapanku, aliran darahnya seakan
menghalangi untuk terlepas, saat bola matanya terbuka, ia hirup nafa panjang,
senyum kembali mengalir merdu di bibirnya, ia berdiri dan mengajaku beranjak
dari tempat itu, di deretan tumbuhan bunga yang tersusun indah nan rapi,ia
remas jemariku, menelusuri setiap sudut taman, terlihat ia sangat menikmati
setiap jangkah lembutnya dengan senyuman.
Daun-daun
beterbangan tertiup angin, menyusun setiap peristiwa yang tercecer tadi siang,
cahaya kuning beubah menjadi merah kehitam-hitaman, burung beterbangan tak
begitu riang menuju sarang, menanti untuk melewati sang malam. Aku mulai
membuka dan merangkai catatan kisah kedalam buku yang ia berikan tadi siang, ku
buka lembaran yang masih kosong, ku temukan lembaran kecil yang terselip di
bagian belakang, tertulis “Jika kau merindukanku datanglah ke tempat yang kau
anggap paling indah”.